Gangguan refraksi merupakan salah satu gangguan pengelihatan yang paling banyak dialami oleh penduduk dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekita 153 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan pengelihatan, dan 42% di antaranya disebabkan kelainan refraksi yang tdak terkoreksi, diikuti oleh katarak 33% dan glaucoma 2%. Sedangkan sebesar 18% tidak dapat ditentukan dan 1% adalah gangguan pengelihatan sejak masa kanak-kanak.
Gangguan refraksi sendiri adalah salah satu gangguan pembiasan cahaya yang tidak dapat difokuskan pada retina meskipun media pembiasannya jernih.
Menurut dr. Zoraya Ariefia Feranthy, SpM, ada berbagai macam kelainan refraksi. “Kelainan yang paling sering ditemukan adalah myopia, bayangan dari benda yang terletak jauh berfokus di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi. Hipermetropi atau Hiperopia atau rabun dekat adalah kelainan refraksi mata di mana bayangan dari sinar yang masuk ke mata jatuh di belakang retina dan Astigmatisme adalah gangguan pengelihatan yang diakibatkan kelainan pada kelengkungan lensa atau kornea yang berakibat pandangan terdistorsi atau kabur,” kata dr. Zoraya di Jakarta, pada Senin (30/4/2018) lalu.
Gangguan pengelihatan ini tentunya memiliki dampak negatif pada aktivitas harian yang memerlukan fungsi pengelihatan. Dengan fungsi pengelihatan yang berkurang tentunya bisa berakibat pada penurunan kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaannya.
Lebih jauh dr. Zoya mengatakan bahwa kelaianan refraksi bisa diatasi dengan penggunaan kacamata, kontak lensa dan bedah refraktif, termasuk di dalamnya LASIK, TRANS-PRK, PRK, dan Clear lens extraction.
LASIK adalah laser assisted keratomileusis yang menggabungkan metode pembuatan flap (lapisan tipis ) pada kornea dan laser untuk mengubah lengkungan kornea, sehingga kelainan refraksi dapat terkoreksi. “Sedangkan TRANS-PRK adalah suatu inovasi metode mutakhir dalam bedah laser dimana tidak ada sentuhan ke kornea oleh alat apa pun selain laser . Sementara itu, PRK atau photorefractive keratectomy adalah metode dengan cara menyingkirkan sel epithelium atau lapisan bening yang berada di permukaan mata dan memperbaiki jaringan kornea dengan laser, dan Clear lens extraction atau CLE adalah metode pengeluaran lensa crystalline yang masih jernih,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, dr. Sohia Pujiastuti, SpM(K), MM, Founder & Opthalmologist SILC Lasik Center, menjelaskan bahwa lasik merupakan teknologi bedah refraktif yang dapat meningkatkan kualitas hidup karena setelah melakukan tindakan LASIK pasien tidak lagi bergantung pada alat bantu (kacamata atau lensa kontak).
Meski demikian, ada syarat dan kriteria sebelum melakukan LASIK, yaitu Myopia :-1.00 sampai 12.00 D, Astigmatisma : -1.00 D sampai 5.00 D, Hypermetropia : +1.00 D sampai +4.00 D, koreksi kelainan refraksi stabil (6-12 bulan).
“Selain itu pasien harus berusia di atas 18 tahun karena ukuran koreksi refraksi atau ukuran kacamatanya belum stabil, sehingga dikhawatirkan akan muncul kelainan refraksi/ukuran kacamata baru setelah LASIK. Pasien juga diharuskan tidak sedang hamil atau menyusui serta tidak ada kelainan atau gangguan kesehatan, khususnya kesehatan mata seperti ada katarak, glaukoma, infeksi atau masalah dengan retina,” ujar dr. Sophia.